Untuk terciptanya sebuah rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah, Islam menganjurkan agar ada keseimbangan dan keserasian, kesepadanan dan kesebandingan antara kedua calon suami istri tersebut. Tetapi hal ini bukanlah merupakan satu hal yang mutlak, melainkan satu hal yang harus diperhatikan untuk mencapai tujuan pernikahan yang bahagia dan abadi.
Adapun pendapat jumhur ulama fiqih tentang kafa’ah adalah sebagai berikut:
Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa sesungguhnya kafa’ah adalah persamaan antara seorang calon laki-laki dengan calon wanita dalam beberapa masalah tertentu seperti keturunan, pekerjaan, merdeka, agama, harta.
Golongan Malikiah berpendapat bahwa kafa’ah dalam nikah adalah sebanding dengan dua urusan; pertama, masalah agama, dalam arti orang tersebut muslim yang tidak fasik. Kedua, calon pria bebas dari cacat yang besar yang dapat mengakibatkan wanita tersebut dapat melaksanakan hak khiyar atau hak pilihnya, seperti penyakit supak, gila atau penyakit kusta. Ketiga, kafa’ah dalam harta, merdeka, keturunan, dan pekerjaan merupakan pertimbangan saja.
Golongan Syafiiyah berpendapat bahwa kafa’ah itu adalah dalam masalah tidak adanya aib. Kalau salah satu di antaranya ada aib, maka yang lain dapat membatalkan perkawinan itu (fasakh). Yang perlu dipertimbangkan dalam masalah ini adalah keturunan, agama merdeka, dan pekerjaan.
Sedangkan yang berhak atas kafa’ah itu adalah wanita dan yang berkewajiban harus berkafa’ah adalah pria. Jadi yang dikenal persyaratan harus kufu atau harus setaraf itu adalah laki-laki terhadap wanita. Kafa’ah ini merupakan masalah yang harus diperhitungkan dalam melaksanakan suatu pernikahan, bukan untuk sahnya suatu pernikahan. Kafa’ah ini adalah hak wanita dan wali, oleh karena itu keduanya berhak untuk menggugurkan kafa’ah.
Kesimpulannya, kafa’ah itu diperhitungkan sebagai syarat sah nikah, ketika wanita tidak rela, tetapi apabila ia rela maka kafa’ah tidak menjadi persyaratan sah atau tidaknya pernikahan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Terj. Moh. Thalib, (Bandung: Al-Ma’arif, Juz. 6, 1990). Sayyid Sabiq,Fiqhussunnah, Kuwait: Dar al-Bayan, 1971).
0 Komentar